NEONATUS RESIKO TINGGI DAN PENATALAKSANAAN-NYA
Bayi baru lahir atau
neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat
rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan
dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan
dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu
tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan
terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik.
Banyak masalah pada
bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian
biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan
lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah
lahir.
Masalah pada neonatus
biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak
hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul
sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai,
manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan
bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan
mempunyai kesempatan hidup yang kecil.
Yang termasuk neonatus resiko tinggi yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. BBLR
2. asfiksia neonatorum
3. sindrom, gangguan pernafasan
4. ikterus
5. perdarahan tali pusat
BBLR
Definisi
Bayi berat lahir rendah
(BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang
masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam
setelah lahir.
Epidemiologi
Prevalensi bayi berat
lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan
batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau
sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan
di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada
bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam
peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak
serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan.
Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah
lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter
diperoleh angka BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara nasional berdasarkan
analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari
target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju
Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.
Etiologi
Penyebab terbanyak
terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain adalah umur,
paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.
1. Faktor ibu
a.
. Penyakit
Seperti malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
b.
. Komplikasi pada kehamilan.
Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti
perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.
c.
Usia Ibu dan paritas
Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia 0
d.
Faktor kebiasaan ibu
Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu
perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.
2. Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan
kromosom.
3. Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di
daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun .
Komplikasi
Komplikasi langsung yang
dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain :
·
Hipotermia
·
Hipoglikemia
·
Gangguan cairan dan
elektrolit
·
Hiperbilirubinemia
·
Sindroma gawat nafas
·
Paten duktus arteriosus
·
Infeksi
·
Perdarahan intraventrikuler
·
Apnea of Prematurity
·
Anemia
Masalah jangka panjang
yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) antara lain
:
Ø Gangguan perkembangan
Ø Gangguan pertumbuhan
Ø Gangguan penglihatan
(Retinopati)
Ø Gangguan pendengaran
Ø Penyakit paru kronis
Ø Kenaikan angka kesakitan
dan sering masuk rumah sakit
Ø Kenaikan frekuensi
kelainan bawaan
Diagnosis
Menegakkan diagnosis
BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka waktu 0 dapat
diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang .
Anamnesis
Riwayat yang perlu
ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari etiologi dan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR:
Umur ibu
Riwayat hari pertama
haid terakir
Riwayat persalinan
sebelumnya
Paritas, jarak kelahiran
sebelumnya
Kenaikan berat badan
selama hamil
Aktivitas
Penyakit yang diderita
selama hamil
Obat-obatan yang diminum
selama hamil
Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat
pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :
ü Berat badan 0
ü Tanda-tanda prematuritas
(pada bayi kurang bulan)
ü Tanda bayi cukup bulan
atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan antara lain :
ü Pemeriksaan skor ballard
ü Tes kocok (shake test),
dianjur untuk bayi kurang bulan
ü Darah rutin, glukosa darah,
kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar elektrolit dan analisa gas
darah.
ü Foto dada ataupun babygram
diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang bulan dimulai pada
umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.
ü USG kepala terutama pada
bayi dengan umur kehamilan 0
Penatalaksanaan/ terapi
Medikamentosa
Pemberian vitamin K1:
·
Injeksi 1 mg IM sekali
pemberian, atau
·
Per oral 2 mg sekali
pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur 4-6
minggu)
Diatetik
Bayi prematur atau BBLR
mempunyai masalah menyusui karena refleks menghisapnya masih lemah. Untuk bayi
demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan diberikan pada
bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan memegang kepala dan menahan bawah
dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan
yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel pada puting. ASI
merupakan pilihan utama :
o Apabila bayi mendapat
ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara apapun, perhatikan
cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari
sekali.
o Apabila bayi sudah tidak
mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-turut,
timbang bayi 2 kali seminggu.
Pemberian minum bayi
berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan
bayi adalah sebagai
berikut:
a. Berat lahir 1750 –
2500 gram
- Bayi Sehat
Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih
mudah merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh;
setiap 2 jam) bila perlu.
Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas
menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
- Bayi Sakit
Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan
minum seperti pada bayi sehat.
Apabila bayi memerlukan cairan intravena:
· Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
· Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi
stabil. Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda
siap untuk menyusu.
· Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh; gangguan
nafas, kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung :
o Berikan cairan IV dan
ASI menurut umur
o Berikan minum 8 kali
dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali). Apabila bayi telah mendapat minum 160
ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali
minum. Biarkan bayi menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi
menunjukkan keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau
tersedak.
b. Berat lahir 1500-1749
gram
- Bayi Sehat
o Berikan ASI peras dengan
cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak dapat diberikan menggunakan
cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke dalam paru (batuk atau
tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan dengan pemberian
menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa batuk atau
tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya memakan waktu
lebih dari 1 minggu)
o Berikan minum 8 kali
dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160/kgBB
per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
- Bayi Sakit
·
Berikan cairan intravena
hanya selama 24 jam pertama
·
Beri ASI peras dengan
pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan IV secara perlahan.
·
Berikan minum 8 kali
dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum
160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum.
·
Lanjutkan pemberian
minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi bayi sudah stabil dan bayi
dapat menelan tanpa batuk atau tersedak
Apabila bayi telah
mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.
c. Berat lahir 1250-1499
gram
- Bayi Sehat
v Beri ASI peras melalui
pipa lambung
v Beri minum 8 kali dalam
24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160 ml/kgBB
per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum
v Lanjutkan pemberian
minum menggunakan cangkir/ sendok.
v Apabila bayi telah
mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.
- Bayi Sakit
v Beri cairan intravena
hanya selama 24 jam pertama.
v Beri ASI peras melalui
pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan intravena secara
perlahan.
v Beri minum 8 kali dalam
24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160 ml/kgBB per
hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum
v Lanjutkan pemberian
minum menggunakan cangkir/ sendok.
v Apabila bayi telah
mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.
d. Berat lahir (tidak
tergantung kondisi)
·
Berikan cairan intravena
hanya selama 48 jam pertama
·
Berikan ASI melalui pipa
lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian cairan intravena secara
perlahan.
·
Berikan minum 12 kali
dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum 160 ml/kgBB
per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum
·
Lanjutkan pemberian
minum menggunakan cangkir/ sendok.
·
Apabila bayi telah
mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk menyusui
langsung.
Suportif
Hal utama yang perlu
dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal:
o Gunakan salah satu cara
menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kontak kulit ke
kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan hangat yang
tersedia di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.
o Jangan memandikan atau
menyentuh bayi dengan tangan dingin
o Ukur suhu tubuh dengan
berkala
Yang juga harus
diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :
1.
Jaga dan pantau patensi
jalan nafas
2.
Pantau kecukupan
nutrisi, cairan dan elektrolit
3.
Bila terjadi penyulit,
harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang, gangguan nafas,
hiperbilirubinemia)
4.
Berikan dukungan
emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya
5.
Anjurkan ibu untuk tetap
bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu berkunjung setiap saat dan
siapkan kamar untuk menyusui.
Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan saat dirawat
a. Terapi
Bila diperlukan terapi
untuk penyulit tetap diberikan
Preparat besi sebagai
suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu
b. Tumbuh kembang
v Pantau berat badan bayi
secara periodik
v Bayi akan kehilangan
berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi dengan berat lair
≥1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir <1500>
v Bila bayi sudah
mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir) dan telah
berusia lebih dari 7 hari :
- Tingkatkan jumlah ASI
denga 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah 180 ml/kg/hari
- Tingkatkan jumlah ASI
sesuai dengan peningkatan berat badan bayi agar jumlah pemberian ASI tetap 180
ml/kg/hari
- Apabila kenaikan berat
badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari
- Ukur berat badan
setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap minggu.
Pemantauan setelah pulang
Diperlukan pemantauan
setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan mencegah/ mengurangi
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai berikut :
v Sesudah pulang hari
ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.
v Hitung umur koreksi
v Pertumbuhan; berat
badan, panjang badan dan lingkar kepala.
v Tes perkembangan, Denver
development screening test (DDST)
v Awasi adanya kelainan
bawaan
Pencegahan
Pada kasus bayi berat
lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang penting. Hal-hal
yang dapat dilakukan :
1. Meningkatkan pemeriksaan
kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun kehamilan dan dimulai
sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang diduga berisiko, terutama faktor
risiko yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan
dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu
2. Penyuluhan kesehatan
tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, tanda tanda bahaya
selama kehamilan dan perawatan diri selama kehamilan agar mereka dapat menjaga
kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik
3. Hendaknya ibu dapat
merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat (20-34 tahun)
4. Perlu dukungan sektor lain yang
terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan pendidikan ibu dan status
ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses terhadap pemanfaatan
pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama hamil
2. Asfiksia Neonatorum
BATASAN
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai
dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia
(Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
PATOFISIOLOGI
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya
hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia
pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
GEJALA
KLINIK
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100
x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap
refleks rangsangan.
DIAGNOSIS
Anamnesis : Gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis.
Pemeriksaan fisik :
Nilai Apgar
Klinis
|
0
|
1
|
2
|
Detak
jantung
|
Tidak ada
|
< 100
x/menit
|
>100x/menit
|
Pernafasan
|
Tidak ada
|
Tak
teratur
|
Tangis
kuat
|
Refleks
saat jalan nafas dibersihkan
|
Tidak ada
|
Menyeringai
|
Batuk/bersin
|
Tonus otot
|
Lunglai
|
Fleksi
ekstrimitas (lemah)
|
Fleksi
kuat gerak aktif
|
Warna
kulit
|
Biru pucat
|
Tubuh
merah ekstrimitas biru
|
Merah
seluruh tubuh
|
Nilai 0-3 : Asfiksia
berat
Nilai 4-6 : Asfiksia
sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena
resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1
menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan
penunjang :
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah
rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
-
Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
- Jantung dan paru :
hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
- Gastrointestinal :
enterokolitis nekrotikans
- Ginjal : tubular nekrosis
akut, SIADH
- Hematologi : DIC
PENATALAKSANAAN
Resusitasi
·
Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
·
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut
jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan pemijatan dada.
-
Asistolik.
Dosis :
-
0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)
Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
-
Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada
respon dengan resusitasi.
-
Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai
adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
- Larutan
kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
-
Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis :
-
Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan
selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
-
Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan
bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
-
Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus
disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis :
1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)
Cara :
-
Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
-
Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat
merusak fungsi miokardium dan otak.
Nalokson :
- Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang
tidak menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan
stabil.
Indikasi :
-
Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam
sebelum persalinan.
-
Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai
pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba
pada sebagian bayi.
Dosis :
0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara :
Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau
s.c
Suportif
· Jaga
kehangatan.
· Jaga
saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
· Koreksi
gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
3. Sindrom gangguan pernafasan
KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFENISI
1. DEFENISI
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
2. PATOFISIOLOGI
Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
3. PROGNOSIS
Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang tidak menderita PMH.
4. GAMBARAN KLINIS
PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.
5. PEMERIKSAAN DIAKNOSTIK
Foto thorak
Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks.
Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.
6. PENATALAKSANAAN
Tindakan yang perlu dilakukan :
1. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
2. Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
4. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar).
Keperawatan
Pada umumnya dengan BB lahir 1000-2000 gr dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu.
1. Bahaya kedinginan
Bayi PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis, jaringan lemak belum berbentuk dan pusat pengatur suhu belum sempurna. Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury, sianosis, dispnea, kemudian apnea. Untuk mencegah harus dirawat dalam inkubator yang dapat mempertahankan suhu bayi 36.5-37oc.
2. Resiko terjadi gangguan pernafasan
Gejala pertama biasanya timbul dalam 4 jam setelah lahir. Tata laksana perawatan bayi prematur adalah
a. Dirawat dalam inkubator dengan suhu optimum
b. Bila bayi mulai terlihat sianosis, dispnea / hiperapsnea segera berikan oksigen.
3. Kesukaran dalam pemberian makanan
Untuk memenuhi kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan cairan glukosa 5-10 %. Makanan bayi yang terbaik adalah asi. Karena itu selama bayi belum diberi asi harus tetap pertahankan dengan memompa payudara ibu setiap 3 jam.
4. Resiko mendapat infeksi
Untuk mencegah infeksi, perawat harus bekerja secara aseptik dan inkubator harus aseptik pula. Ruangan tempat merawat bayi terpisah, bersih, dan tidak di benarkan banyak orang memasuki ruangan tersebut kecuali petugas, semua alat yang diperlukan harus steril.
5. Kebutuhan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman dapat terjadi akibat tindakan medis, misalnya penghisapan lendir, pemasangan infus dll. Untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya selain sikap yang lembut setiap menolong bayi dalam memberi pasi harus di pangku.
4. Ikterus
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
- Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
- Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
- Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
- Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
- Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
- Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
- Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
- Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
- Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
- Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
- Polisitemia.
- Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
- Ibu diabetes.
- Asidosis.
- Hipoksia/asfiksia.
- Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
- ASI
b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.
2. Ikterus
pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1.
Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia
|
Kuning terlihat pada
|
Tingkat keparahan ikterus
|
Hari 1
Hari 2
Hari 3
|
Bagian
tubuh manapun
Tengan dan tungkai * Tangan dan kaki |
Berat
|
* Bila
kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai
ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
- Minum ASI dini dan sering
- Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
- Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
- Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
- Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
·
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai
dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
·
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas
nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
·
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan
merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga,
lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
- Tentukan diagnosis banding
2. Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
- Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
- Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
·
Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya
transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes
Coombs positif, segera rujuk bayi.
·
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah
terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
·
Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
·
Persiapkan transfer.
·
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter
dengan fasilitas transfusi tukar.
·
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
·
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi
kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
- Nasihati ibu:
·
Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus,
pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena
berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
·
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan
kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya
hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa,
aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
·
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%),
berikan transfusi darah.
·
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada
bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5
kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus
berkepanjangan (prolonged jaundice).
·
Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin
setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit <
24%), berikan transfusi darah.
Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)
- Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
- Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
- Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
- Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat terpisah.
G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
H. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
5.Pendarahan Tali Pusat
Perdarahan
yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan
tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal.
Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi
ETIOLOGI
1 Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a. Patus precipitatus
b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat
c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat
persalinan
d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau
placenta sewaktu sectio secarea
2. Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a . Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun
perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi
bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
b. Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c. Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah
setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding
pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh
dan mudah pecah
3. Robekan pembuluh darah abnormal
Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :
a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada
perlindungan jely wharton
b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat
percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak adda
proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c. Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan masing-
masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah
pecah
4. Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta
Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada
kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio
placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia.
Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi
baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
PENATALAKSANAAN
1. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
2. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali pusat.
3. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan
rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Jamie Alison
Edelstein; James Li, Mark A Silverberg, Wyatt Decker. "Hypothermia ",
(Medscape), 29 Oktober 2009. Diakses pada 14 Juni 2012.
Ø James S.
Seidel, Deborah P. Henderson (1996). Prehospital care of pediatric
emergencies. Jones and Bartlett. 978-0867205053.Page.136-137.
Ø Kliegman,
Robert M. (2007). Nelson Textbook of Pediatrics. Saunders Elsevier..
ISBN: 978-0-8089-2365-7.
Ø Hypothermia . Diakses
pada 3 Agustus 2012.
Ø wilderness
Hypothermia . Diakses pada 3 Agustus 2012.
Ø Hypothermia”
. Diakses pada 3 Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar